Jumat, 26 November 2010

CERPEN

CERPEN : Hujan Rindu



    Hanya desir angin yang mondar-mandir menyapa daun-daun pohon besar itu, sementara gemercik air sungai yang mengalir di atas hamparan batu itu seolah-olah bisu dan berhenti tertawa dipagi itu, lalu aku berjalan menghampiri bibir sungai hanya sekedar untuk membasuh muka setelah semalaman bersetubuh dengan hangat api unggun dan berdialog bersama asap-asapnya untuk mengusir udara dingin Ciwidey. Setelah itu, aku bersandar di badan  pohon yang kelihatannya pohon itu sudah ada sebelum aku terlahir, “Brukk…”seketika aku terkejut seolah-olah jantungku dihantam rudal Amerika yang meluluh lantahkan Gaza, akupun menoreh kebelakang, ternyata ada dahan pohon yang jatuh dan beruntungnya tidak jatuh tepat di atas kepalaku dan bersama itu pula pikiranku ikut terhanyut mengingat kembali pada kejadian sebelum aku tiba diperkemahan ini.
Saat itu aku, Asep dan Pak Budi sedang mencari tempat peristirahatan sejenak sekaligus ingin mengisi perut yang sudah keroncongan, Asep ialah teman sekampusku yang selalu saja ingin ikut jika aku mau pergi berlibur dan Pak budi itu ialah sahabat dekat ayahku sekaligus teman campingku, karena dia memiliki hobi yang sama denganku, yaitu hobi pergi ke daerah-daerah pegunungan . kemudian kamipun berhenti disebuah warung nasi sederhana tapi terlihat mempesona di daerah yang tidak jauh lagi ke tempat tujuan kami, kamipun mulai mengambil nasi serta lauk-lauknya yang sepertinya bakal memanjakan lidah, dan nyatanya memang lezat rasanya. Sambil makan, aku menyempatkan waktu untuk bercengkrama dengan si ibu pemilik warung nasi dan bersapa hangat dengan seorang perempuan dengan matanya yang sayu serta rambutnya yang sedikit pirang terurai lurus tidak lain adalah putri si ibu pemilik warung nasi, dia sedang menuangkan teh hangat kedalam gelas dan memberikannya kepada ku, gadis itu bernama Zahra. “Ini kang air tehnya” ujarnya dengan siratan senyum manis, “Owh iya terima kasih neng” kataku sambil membalas senyuman itu. Perlahan-lahan keakraban itupun terjadi pada aku dan Zahra. Akupun tak hentinya berkata dan memuja dalam hati kepada dia, “Sudah bagus rupa, ramah, rajin bantu orang tua lagi yang terlebih dia tak memiliki sedikitpun perasaan gengsi”. Lalu aku hisap sebatang rokok filter dan ditemani segelas besar teh manis dan semakin mengahangatkan suasana serta menyejukan hati saat itu.
Tiba-tiba terdengar sapaan halus dari belakang, “Kang maaf mengganggu sebentar” ujar Zahra. “Iya gak apa-apa, ada apa neng?” jawab ku sambil kembali bertanya. “kalau mau solat Dzuhur, di belakang ada mushola” tutur dia, “Astagfirullah.. aku hampir lupa” akupun segera bergegas menuju mushola itu dan ketika berjalan aku berfikir sambil berkata dalam hati, “ya Tuhan aku hampir tidak menyadari, aku mengira bahwa aku berada di Tasikmalaya yang persisnya jika udara masih dingin itu berarti masih pagi, tapi nyatanya disini setiap waktu rasanya pagi terus, apa mungkin suasana hatiku sedang pagi? Entahlah, yang jelas aku tengah merasakan perpaduan bening embun dengan senyum matahari”. Ketika aku baru mau memulai sembahyang, tiba-tiba terdengar suara pintu mushola terbuka, aku sempat mengira mungkin hanya angin yang mau menemaniku, tapi ku dengar sahutan lembut dari belakang, “kang kita shalat berjamaah ya..!!”kata Zahra. Akupun hanya tersenyum dan menganggukan kepala.
Setelah selasai sembahyang, aku dan Zahra sempat duduk sejenak di balkon pinggir kolam yang dihiasi ikan-ikan mas dengan bewarna pelangi dipunggungnya. Lalu Zahra pun sempat bertanya kepada ku. “apakah ikan-ikan itu tak merasa bosan ya? Mereka menghabiskan hidupnya hanya berenang di kolam kecil ini.” Akupun menjawab dengan segurat senyuman, “Tidak, malah mereka akan merasa bahagia karena telah membuat orang yang melihatnya bahagia”. “Mmhh..mungkin juga ya” ujar Zahra sambil membalas senyumanku. Kemudian Zahra pun kembali bertanya, “Terus bagaimana dengan bumi atau tanah ini, apakah mereka tidak akan marah jika terus di injak?”. Aku sedikit mengerutkan keningku dan dengan sedikit perlahan aku menjawab, “Ya,,,mungkin juga iya, mungkin juga tidak, tergantung lebih banyak mana antara yang patuh pada penguasa bumi dengan yang membangkangnya. Secara sontak dia menatap mataku, kulihat ada garis ketakutan dan kekhawatiran dibenaknya. “Kamu benar, semoga para penginjak bumi ini lebih banyak yang patuhnya, amin.” Tutur dia sambil menghela napas yang cukup panjang. Kamipun segara meninggalkan balkon itu dan sempat bertukaran nomor hand phone, akupun harus bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan sebelum terang mengalah pada gelap begitu juga dengan Zahra harus kembali membantu ibunya. Kemudian aku segera masuk kedalam mobil Feroza hijau itu, karena Asep dan Pak Budi sudah menunggu, Zahra pun melambaikan tangannya sambil berkata “Semoga selamat sampai tujuan ya,,,!!” tak lepas dengan senyuman itu.
“Teng….teng…teng…!!!” aku kembali dikejutkan lagi dengan suara dentingan wajan yang dipukul Asep, terasa masuk semua kedalam telingaku. “Woi,,,jangan melamun terus” teriak Asep sambil menertawakan, “Ya,,ya,,ya,,rese,” ujarku pada Asep. Sebenarnya aku sedikit naik darah dengan perlakuan dia, tapi namanya juga teman, ada yang bilang teman itu tempat seribu malum. “Apa yang terjadi sama dirimu kawan?” tanya Asep sambil menepuk-nepuk pundakku. “Entahlah sep, entah ini firasat atau hanya kekhawatiran semata, aku teringat sama Zahra perempuan yang waktu itu dan aku berdo’a semoga dia akan baik-baik saja”, tutur ku sambil sesekali menengadah dan lebih banyak menunduk. “Aku juga mengerti kok, sudahlah kawan,,kita pergi kesini untuk mencari ketenangan jangan kau keruhkan dengan prasangka yang tak bermakna”, ujar asep dengan gaya yang sedikit kebijaksanaannya. “Iya kamu benar sekali sep, baiklah sekarang kita siapkan segala keperluan untuk menghadapi udara malam pegunungan Ciwidey nanti, yang,, konon suhunya bisa nyampai 30 celcius bahkan 00 celcius, kita akan buktikan kawan” sahut ku dengan penuh semangat. Akhirnya kami pun menghabiskan waktu tiga hari dua malam di pegunungan Ciwidey itu dan segera pulang kembali ke Tasikmalaya, namun sayangnya aku tak sempat singgah dulu di warung nasinya Zahra, ya,,, karena Pak Budi sudah rindu sama istrinya, katanya…. Namun, aku sempat pamitan ke Zahra lewat pesan dari hand phone saja, seperti biasa dia membalas pesan dengan mendoakan atas keselamatan kami serta menyertakan symbol “titik dua” dan” kurung tutup “di akhir tulisan.
 
Seminngu sudah moment indah itu terlewati dan aku kembali kerutinitas seperti biasa sebagai seorang mahasiswa pendidikan bahasa Inggris di salah satu Universitas swasta di Tasikmalaya. Namun disela-sela hari ku saat itu ada yang berbeda, setiap pagi hand phone ku selalu berdering, aku selalu menerima pesan singkat dari Zahra “Selamat pagi Aa,,semoga hari-hari mu bermakna” masih tetap dengan dikahiri symbol titik duan ataupun titik koma dan kurung tutup, akupun sedikit heran kenapa dia panggil aku dengan panggilan Aa?, tapi aku hanya berfikir mungkin dia merindukan sesosok kakak laki-laki karena dia adalah anak simata wayang. Seiring berjalannya waktu aku dan Zahra semakin akrab, semakin dekat meski kenyataannya tidak dekat karena terpaut jarak, namun itu semua bukan menjadi suatu masalah yang sangat berarti di zaman sekarang ini. Disuatu malam dia menelphone aku, dia ingin aku segera membuka note book milikku, karena dia inggin bercerita sesuatu melalui situs jejaring sosial yang berfasilitaskan web camera, beberapa menit kami mulai terhubung, namun waktu itu ada yang aneh dari Zahra, biasanya dia selalu mengawali dengan senyuman tapi kali ini dengan raut wajah yang murung. “Kenapa Za,,?” tanyaku dengan sedikit cemas, “Aku lagi merindukan sesorang,” jawabnya sambil melihat tajam kedepan kamera web nya. “kamu lagi rindu sama siapa Za,,? Tanyaku kembali, zahrapun sedikit gugup mengatakannya “za lagi rindu sama a,,a,,”. “rindu sama Aku ya,,?”dengan polosnya aku memotong perkataan dia, “bukan,,A, tapi za lagi rindu sama ayah za. Dengan sedikit malu aku menggaruk kepala tapi bahagia karena Zahra pun sedikit melukiskan senyumannya, akupun hanya bisa berkata “owh,,aku kira rindu sama A,hehe”.
Zahrapun bercerita banyak tentang permasalahan dirinya kepadaku, dari situ aku mulai mengetahui keadaan dia yang sebenarnya, dia adalah seorang perempuan blasteran indo spanyol, ibu asli ciwidey dan ayahnya berasal dari Andalusia, namun kini mereka telah berpisah dan hal itu lah yang menyebabkan Zahra sangat merindukan ayahnya, dimalam itu pula benih-benih cinta dan butir-buitr sayang diantara aku dan Zahra mulai bersemi.
            Tiga bulan sudah berlalu dari curhatan malam itu, aku pun memutuskan untuk pergi menemui Zahra karena rindu ini semakin tak terbendung dan aku juga berniat untuk mengungkapakan seluruh isi hatiku dan ingin menjadikan dia sebagai bagian dari tulang rusukku. Namun, sehari sebelum keberangkatanku ke ciwidey, sesaat setelah ku terjaga dari tidurku, aku ambil segelas teh manis dan duduk didepan TV sambil menonton berita terhangat, seorang reporter berita itu menyebut-nyebut kata Ciwidey, akupun lebih mendekat ke layar kaca, terlihat persis sebuah bangunan mushola dimana tempat aku dan Zahra sembahyang waktu itu, namun yang paling mengejutkan lagi, sebagian mushola itu tertutup sama tanah, bahwa sanya telah terjadi bencana tanah longsor di daerah pegunungan Ciwidey sekitar pukul 08.00 pagi. Serentak aliran nadi ku berhenti, serasa syaraf-syaraf motorikku terputus hingga tak kuasa untuk menggenggam gelas teh ini, aku kembali teringat pertanyaan kedua Zahra di balkon pingir kolam itu. Tanpa berfikir panjang aku pamit sama ibuku dan langsung meluncur ketempat kejadian bencana itu dengan Ninja hijauku, aku hanya membutuhkan waktu satu jam untuk tiba disana entah aku yang gila mengendarai motor atau Ninjanya yang sedang semangat berlari.
            Sesampainya disana aku tak kuasa menahan tangis, yang kulihat hanya mushola kecil itu, sementara tempat kami makan dulu sudah rata dengan tanah. Tindakan pertamaku langsung membantu tim evakuasi untuk mencari korban jiwa, akan tetapi, saatku memalingkan wajah ke arah kiri, kulihat seorang perempuan berambut panjang itu membelakngi ku, perlahan aku hampiri dia dan ternyata itu memang Zahra, aku memeluk erat tubuhnya seperti tak ingin kulepaskan selamanya, tapi yang mengejutkanku lagi dia sedikitpun tak bersahut ataupun bersuara, dia hanya mengigit jari dan badannya begitu menggigil, lalu segera ku bawa dia ke Puskesmas terdekat, sesampainya di puskesmas dia diperiksa oleh dokter bahwa sanya dia hanya mengalami defresi berat. Sepengetahuan warga disana Zahra selamat karena sebelum sesaat kejadian, dia masih berada di pasar untuk kebutuhan warung nasi ibunya. Lalu aku meminta izin kepada pemerintah setempat untuk membawa Zahra dari pengungsian ketempat sodaraku yang tak jauh dari lokasi bencana, karena menurut kabar seluruh keluarganya tak ada yang selamat. Segala macam usaha telah aku lakukan supaya kondisi kejiwaan Zahra kembali seperti semula, dari fsikiater sampai ke fsikolog telah kami kunjungi tapi hasilnya tetap nihil, setiap hari Zahra hanya memegang poci kosong dan seperti menumpahkan air teh kedalam gelas dan yang mebuat hatiku sangat terpukul, dia sama sekali tidak mengenal diriku. “Kring,,kring,,kring,,”hand phone Zahra berbunyi lalu aku mengangkatnya. “Hello,,honey,, are you oke? I’am your Father” kata pria itu yang tak lain adalah ayahnya Zahra yang di Andalusia. “No sir, I’m Zahra’s friend, but she’s fine” jawabku pada ayahnya Zahra. Kamipun mulai bercakap lumayan cukup lama, dan aku menceritakan semua kejadian, pada kesimpulannya dia akan membawa kembali Zahra ke Spanyol untuk berobat disana, ya,, mungkin dokter disana memiliki alat untuk mengembalikan ingatan seseorang yang lebih canggih.
Di sabtu pagi itu mobil BMW hitam terparkir di pekarangan rumah sodaraku, yang tak lain ialah ayahnya Zahra, aku hanya bisa menangis dalam hati, sesungguhnya aku tak ingin Zahara dibawa pergi ayahnya, tapi apalah daya tangan tak sampai. Sebelum Zahra masuk ke mobil, dia berhenti dan menatap sayu mataku, aku masih ingat tatapan ini kala dia menatap ku di balkon pinggir mushola itu. Lagi-lagi aku dikejutkan kembali, jika seandainya ini selalu terjadi padaku, mungkin aku akan mati terkejut. “Selamat tinggal A..” tutur Zahra yang lemah dari bibirnya. Sejenak aku berfikir kembali “jika satu minngu lagi Zahra berada disini, mungkin ingatan dia akan kembali seperti semula” disana aku merasakan sesal yang sesesal-sesalnya, jikalau waktu itu aku tak memberi tahu keberadaan Zahra pada ayahnya, mungkin tak akan seperti ini, tapi takdir berkata lain.
Behari-hari ku jalani hidup dengan penuh kerinduan, rindu senyumannya, rindu manjanya, rindu tutur katanya yang lembut, rindu tatapannya bahkan rindu pesan singkat dipagi hari. Memang benar apa yang dikatakan para pujangga ataupun para penyair melayu, “nanti kau akan tahu artinya rindu bagai tertusuk duri sembilu, batin akan tersiksa jasad pasti merana”. Tiga bulan sudah berlalu dari kepergian Zahra ke Negara ayahnya, akupun mulai mencoba untuk membuka hati untuk orang lain dan aku kirimkan sajak terakhir lewat E-Mail untuk perempuan blasteran indo spanyol itu, El Zahra Mariana Silva. Tidak lepas dari harapanku jikalau disuatu nanti dia sembuh dari ingatannya. Nama itu yang pernah menjadikan pagi dihatiku sekaligus kini menjadikan malam. Dan E-mail yang kukirimkan itu berisi sajak seperti ini.
Seperti hamparan banyu biru membuka tangannya
menanti belaian matahari mengais sewajan air.
Aku memanahkan namamu.
Kekasih,
langit di atas laut menjatuhkan wajahmu
menjadi peristiwa di pantai-pantai dan ombak-ombakku,
menjadi hujan rindu di peraduanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar